Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara acuan dunia terpantau ambruk sepanjang pekan ini, di mana proyeksi turunnya permintaan batu bara dan semakin masifnya peralihan ke energi baru terbarukan (EBT) membebani harga batu bara dunia.
Berdasarkan data dari Refinitiv pada pekan ini, harga batu bara Newcastle untuk kontrak Februari 2024 ambruk 2,49% secara point-to-point (ptp), menjadi pelemahan di pekan ke lima, sehingga batu bara sudah terkoreksi selama lima pekan beruntun.
Namun pada perdagangan Jumat (14/1/2024) akhir pekan ini, harga batu bara ditutup menguat 0,79% menjadi US$ 127,25 per ton.
Penurunan harga terjadi seiring adanya perkiraan permintaan batu bara yang lebih rendah tercermin dalam perkiraan produksi batu bara AS tahun 2024 yang dikeluarkanAdministrasi Informasi Energi AS atauEIA, yang merupakan angka terendah sepanjang masa.
EIA memproyeksikan produksi batu bara akan turun 15,9% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 489,3 juta ton pada 2024 sebelum turun lagi sebesar 12,4% secara tahunan menjadi 428,8 juta ton pada 2025.
Total konsumsi batubara diproyeksikan sebesar 391,3 juta ton pada 2024, naik 1,6% dari proyeksi sebelumnya. EIA memperkirakan total konsumsi batubara pada 2025 sebesar 361,7 juta ton.
Untuk sektor ketenagalistrikan, konsumsi batubara diperkirakan sebesar 351,9 juta ton pada 2024, turun 8,4% dibandingkan setahun sebelumnya (yoy). Pada tahun 2025, konsumsi batubara sektor tenaga listrik diproyeksikan sebesar 322,2 juta ton, yang merupakan angka terendah sepanjang masa jika terwujud, menurut data EIA sejak tahun 1997.
Penurunan proyeksi batu bara AS mengindikasikan akan adanya penurunan permintaan signifikan akibat ekonomi yang melambat. Hal ini disinyalir dapat membatasi permintaan, sehingga harga mengalami koreksi.
Beralih ke Asia, status China sebagai raksasa EBT akan diperkuat dalam lima tahun ke depan, dengan negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini menambah kapasitas lebih besar dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia.
Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) mengatakan dalam laporan Energi Terbarukan 2023, yang dirilis pada Kamis lalu, bahwa China akan menyumbang 56% dari penambahan kapasitas energi terbarukan pada periode 2023-2028.
China diperkirakan akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebesar 2.060 gigawatt (GW) pada periode perkiraan, sementara negara-negara lain di dunia akan menambah 1.574 GW, menurut data IEA.
Namun perlu dicatat bahwa India diperkirakan akan menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 203 GW, sementara 11 negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan akan meningkatkan kapasitas sebesar 63 GW.
Hal ini menunjukkan bahwa Asia merupakan kekuatan dominan dalam pemanfaatan energi terbarukan, terutama karena kebijakan yang mendukung dan ketersediaan modal serta perjanjian offtake untuk listrik yang dihasilkan.
Penggunaan EBT akan mengurangi signifikan pemanfaatan pembangkit listrik berbasis batu bara. Besarnya rencana ekspansi EBT negara-negara di seluruh dunia dinilai turut menjadi faktor permintaan yang menurun, sehingga harga mengalami kejatuhan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)[Gambas:Video CNBC]